About Me
Name: dee
Home: Bandung 1/2 Jakarta, Jawa Barat, Indonesia
About Me: Simple.. Easy going.. but a li'll bit moody sometimes
See my complete profile
Previous Post
Archives
Shoutbox

Name :
Web URL :
Message :

Links
Powered by

Isnaini Dot Com

BLOGGER

 

 

 
  Monday, July 31, 2006  
 
 
Jam Biologis
Setiap orang memiliki jam biologis atau mekanisme pengaturan waktu internal dalam tubuh yang bekerja secara otomatis.

Ada orang yang selalu bangun pagi. Pukul enam pagi mereka sudah tidak betah lagi berada di tempat tidur, dan begitu bangun mereka mampu bekerja dengan penuh konsentrasi. Tetapi, ada juga orang yang selalu begadang, dimana mereka secara naluri tidak dapat tidur sebelum larut malam. Kalau bangun terlalu pagi, mereka menjadi cepat marah dan tidak bisa berkonsentrasi saat bekerja. Apa yang menyebabkan perbedaan itu? Pasalnya: setiap orang memiliki jam biologis atau mekanisme pengaturan waktu internal dalam tubuh yang bekerja secara otomatis.
Jam ini sudah terprogram secara genetis dan menentukan kapan waktunya kita bangun dan kapan kita tidur. Dalam Forum Ilmu Pengetahuan "Euroscience Open Forum" ESOF di Manchen, Jerman, para peneliti mendiskusikan pengetahuan aktual yang hasilnya terutama dapat membuat orang yang suka tidur lama, merasa senang.

Till Roenneberg adalah professor di Institut Psikologi Kedokteran Universitas Manchen, yang meneliti soal jam biologis.

Till Roenneberg: "Jam internal itu seperti jam betulan. Kenapa kita memerlukan sebuah jam? Karena kita ingin tahu kapan kita harus berangkat, supaya misalnya tidak ketinggalan kereta api. Jam internal atau jam biologis mempunyai fungsi yang sama. Jam itu ingin mengetahui, apakah saya sekarang harus meningkatkan temperatur atau hormon, supaya saya bisa bangun dalam waktu dua jam nanti."

Jam internal yang dibicarakannya itu adalah reaksi proses evolusi terhadap pergantian dari malam ke siang hari, dimana jam itu terprogram dalam gen dan mengatur kapan kita bangun dan kapan kita tidur. Dan setiap orang memiliki jam biologis tersendiri yang berbeda satu sama lain. Tetapi jam biologis tidak selalu sam berdetak, dan ini tergantung dengan umur.

Anak kecil biasanya bangun pagi sekali, sehingga orang tuanya acap kali kerepotan oleh karena itu. Kemudian mereka tumbuh besar dan jam biologisnya semakin bergeser ke belakang dan pada usia remaja, pergerseran ini mencapai titiknya yang terakhir. Mulai usia 20 tahun jam itu kembali berangsur- angsur bergerak ke depan lagi. Ini berarti, kaum remaja dapat diibaratkan seperti burung hantu dan pensiunan sebagai burung Lerche. Namun untuk semuanya yang berlaku adalah, jika hidup melawan jam biologis, misalnya karena setiap harinya bangun jam enam pagi karena wekernya berdering, maka badan akan mengalami stress. Para pakar seperti Till Roenneberg menyebut gejala tersebut "social jetlag."

Till Roenneberg: "Kalau jam biologis saya dua atau tiga jam lebih lambat dari waktu sebenarnya yang harus saya jalani, bagi ini berarti seolah-seolah saya bekerja di Moskow tetapi tinggal di Manchen. Ini adalah jetlag sosial."

Pindah ke zona waktu yang lain tidak ada gunanya sama sekali: Pasalnya, di tempat yang baru, jam biologis kita akan segera menyesuaikan diri dengan keadaan setempat. Maksudnya, siapa yang di Jerman selalu bangun pagi, maka orang itu juga akan tetap bangun pagi, baik di Tokyo maupun di New York. Namun, dampak apa yang akan muncul jika hidup melawan jam biologisnya? Till Roennenberg menuturkan sesuatu yang menarik:

Till Roenneberg: "Yang sangat menarik adalah temuan bahwa yang bersangkutan rentan menjadi perokok. Makin besar jetlag sosial yang diderita, maka makin besar kemungkinan orang itu menjadi perokok atau tetap menjadi perokok dan tidak akan meninggalkan kebiasaan itu. Yang menakjubkan dalam hasil studi itu adalah korelasi yang luar biasa dengan jetleg sosial. 60 persen dari kelompok yang menderita jetleg sosial selama empat jam atau lebih, adalah perokok. Sedangkan hanya sepuluh persen dari kelompok yang tidak menderita jetlag sosial merupakan perokok."

Berbagai penelitian saat ini mengharapkan dapat mengungkapkan pertanyaan, apakah penyakit-penyakit lainnya berhubungan dengan jetlag sosial, misalnya keluhan peredaran darah dalam jantung atau penyakit kanker. Apakah ke depan kita sebaiknya secara patuh mengikuti ritme jam biologis tanpa pengecualian-pengecualian kecil ?

Menurut Till Roenberg, tenggang waktu satu jam masih bisa di tolerir. Tetapi Anda harus membayangkan bahwa 50 persen dari populasi terpaksa harus mengubah atau menjembatani dua jam atau lebih, antara jam biologis dan jam sebenarnya, dimana dalam jangka panjang, tak seorang pun dapat bertahan dalam kondisi seperti itu, seperti banyaknya orang yang kurang tidur pada hari kerja. Bila semua hal tersebut pada populasi diakumulasikan, akan menumpuk menjadi jumlah yang luar biasa.

Jadi, apa yang dapat dilakukan untuk mengatasinya? Apa yang dianjurkan para pakar?

Pertama: Berikanlah lebih banyak cahaya masuk ke ruangan anda, demikian saran dari Till Roenneberg.

Till Roenneberg: "Kenyataan bahwa banyak orang yang hidup dengan jam biologis yang bedanya mencapai 12 jam , disebabkan karena kebanyakan kurang melihat cahaya atau sinar terang. Bagi jam biologis, kurang cahaya membawa dampak, tipe bangun pagi akan bangun lebih pagi lagi, dan tipe yang bangun siang akan bangun lebih siang. Oleh karena itulah terdapat senjang yang besar antara kedua kelompok dalam masyarakat kita."

Kedua: Tidak ada lagi mesin pencatat waktu kerja yang ketat dan lonceng istirahat, melainkan waktu kerja yang sesuai dengan jam biologis kita, karena menurut Till Roenberg, menyesuaikan jam kerja dengan jam biologis merupakan suatu langkah raksasa untuk menjauhi jetlag sosial untuk meningkat produktivitas di dalam masyarakat.

Oleh sebab itu, kaum remaja usia 14 tahun disarankan untuk pergi ke sekolah mulai jam sembilan pagi dan tidak pada jam delapan pagi seperti saat ini. Saran para pakar yang tampaknya akan membuat hati kaum remaja berbunga-bunga.
posted by dee @ 8:49 AM   1 comments
 
 
  Tuesday, July 18, 2006  
 
 
Miss Universe
Hee...hee... lagi heboh-hebohnya nih. Semula aku berkata pada diriku sendiri untuk tidak mengangkat topik ini. Tapi apa boleh buat, perbincangan yang seru, pembahasan yang tiada akhir, foto-foto yang mengundang kontroversi, serta rekaman interview yang jadi bahan ejekan yang lumayan bisa mengocok perut.. membuat tanganku gatal untuk menulis sesuatu tentang hal ini.

Dari dulu aku masih bertanya-tanya apa sih tujuan diadakannya kontes-kontes semacam ini?. Dan dari sudut pandang ku sebagai orang awam, aku menilainya hanya sebagai perlombaan yang di adakan untuk mengagumi keindahan fisik dari seorang perempuan. Itu saja. Tak ada yang lain. Permasalahan intelektual yang dimiliki nona-nona cantik ini hanyalah nilai plus yang sebenarnya tak terlalu penting untuk di perhitungkan. Dan jabatan sebagai duta pasriwisata juga hanya sebagai embel-embel yang di buat-buat. Tapi pada intinya tetap saja even ini hanya sebagai ajang penilaian fisik belaka, demi memperebutkan status wanita tercantik sejagad. Dan bagi yang masih mengelak.. aku akan tanya satu hal.. mengapa diantara mereka tak ada seorang pun yang berpenampilan seperti Betty La Fea?.. dengan kaca mata tebal dan kawat gigi.. sekalipun dia memiliki otak yang jenius.. tapi tetap saja gadis-gadis seperti ini tak masuk hitungan. See..??!!

Kewajiban ber-swimsuit dan budaya indonesia dari dulu memang tak pernah akur dan selalu menjadi bahan perbincangan yang tak pernah habis. Dan menurut ku.. bukan saat nya lagi untuk membicarakan hal ini. Apakan tidak pernah bosan setiap terdapat pemilihan kita selalu membahas hal yang itu-itu saja. So out of date...!! Kalau mau bertindak tegas, ya sudah.. larang saja para putri-putrian itu untuk ikut ajang miss universe. Atau sekalian saja bikin RUU yang biasa dilakukan dinegara kita kalau ada permasalahan baru.. atau kalau boleh aku lebih senang menyebut peraturan dinegara kita ini dengan "peraturan darudat", karena baru dibuat setelah terdapat masalah yang sekiranya cukup pelik dan susah untuk menemukan jalan keluar.

Beauty.. Brain.. Behavior.. Itu adalah syarat utama yang harus dimiliki oleh setiap peserta miss universe. Oh really...??. Beauty?... of course lhaa... seperti yang aku bahas sebelumnya, karena tak ada sau kontestan pun yang berkawat gigi dan berkaca mata setebal pantat botol. Brain...?? eeuuheuum... tawa ku ingin meledak saat mendengar kata ini jika mengingat apa yang telah dilakukan oleh kontestan perwakilan dari negara kita tercinta ini dalam interviewnya yang disaksikan oleh seluruh dunia. Dan entah apakan akan disiarkan dinegara kita?.. bila ya.. Indonesia seperti mendamprat wajah nya sendiri. Selain itu juga dalam setiap interview yang dilontarkan padanya diluar kontes tersebut.. aku melihatnya seperti jawaban yang tak memperhatikan inti pertanyaan. Ibarat ditanya arah ke Bandung.. tapi dia malah menjawab bagai mana cara agar sampai di Surabaya.. Hey lady.. fixed your brain please...!!. Dan yang terakhir, Behavior..?? Ini berurusan dengan personal.. biarlah mereka-mereka menilai dirinya sendiri. Kalau aku pikir sih.. penilaian seseorang sudah tercermin dari isi kepalanya haa.. haa.. Tapi ada satu yang diingat.. kelakuan mereka diluar mencerminkan apa yang ada di negara kita. lalu apa yang terjadi bila Indonesia yang keluar dari bibir para perwakilannya adalah negara yang erat dengan sopan santun dan tata krama, namun tiba-tiba para perwakilan itu muncul dengan bikini yang jelas bertentangan dengan apa yang keluar dari mulutnya.. sekali lage... aku ingin tertawa sekencang-kencangnya..

Well.. anyway, tapi semua itu kita kembalikan lagi pada penilaian pribadi masing-masing.. mengenai pantas atau tidaknya untuk memberikan dukungan pada even dan peserta tersebut. Tapi jika harus memilih kontestan perwakilan negara kita tahun ini.. Aku rasa aku harus berfikir seratus kali..

"So people... come to Indonesia, as a beautiful city.. we have a lot of beautiful b**ches!.. feel it and we open our arms.."


waaakakakak.....
posted by dee @ 9:20 AM   3 comments
 
 
   
 
 
Preman
Di jaman sekarang -- jaman peras-memeras dan gertak-menggertak -- banyak orang yang sok-sok 'an mengaku bergelar preman, supaya dirinya aman, supaya hidupnya nyaman, maka badan pun digambar, di tatto, supaya punya legitimasi sebagai penyandang gelar preman.
tua muda bergaya preman. semuanya untuk kebutuhan hidup aman dan nyaman. bila sang preman datangnya dari klas kéré, maka syarat berani mati adalah tantangan menghadapi persaingan keberanian untuk disebut sebagai preman.

Maka ada istilah preman pasar, yaitu para pengontrol jalannya ekonomi di pasar-pasar. Ada juga yang disebut preman mall, mereka disebut juga sejenis "loverboy" alias arjuna mencari cinta (dan uang). Hanya klasnya berbeda, preman mol bergaya post-mo, berideologi "mokondo". Dosa dan pahala jadi satu dalam mimpinya dunia premanisme. Tergantung pada siapa pengabdianya. Ada yang berfungsi jadi preman lalu turun ke jalan kerna untuk mempertahankan hidupnya dan keluarganya, dan ada juga yang hanya untuk foya-foya dan bergaya hidup seperti orang kaya. Berkuasa dan ditakuti.

Ada 2 muka dari dunia premanisme, di satu pihak dianggap pahlawan sejenis "robin hood" oleh keluarganya, lingkunganya, kelompoknya. kekejaman jaman dianggap sebagai cerita di "sherwood forest", sang preman ngompas orkay untuk membiayai hidup dirinya dan para pengikutnya, dalam rangka melawan penguasa lalim sheriff of nottingham.

Itu kan cerita di negeri yang punya 4 musim, sedangkan dongengnya negeri rayuan pulau kelapa adalah setumpuk legenda tokoh-tokoh dunia model ken arok, si pitung, si jampang, kusni kasdut dst.

Preman bukan hanya berarti pré-makan, alias makan gratis, tapi juga suatu kekuatan fisik yang nampaknya bisa dijadikan alat untuk mendesakkan suatu strategi politik jalanan, politiknya kekerasan.

Jadi bukan sekedar mengingatkan, bahwa kita memang punya budaya jawara, warok, jagoan dstnya, sampai saat ini siapa pun yang jadi penguasa harus membayar "jatah preman" untuk menjaga kekuasaan.

Maka tidak heranlah jika gerombolan preman berjubah keagamaan itu sampai saat ini masih eksis dengan praktek tindak kekerasan, kerna dibelakangnya ada senjata dan uang segudang.


salam, heri latief
amsterdam, 14 juli 2006

=================

Itulah kumpulan paragraf yang aku terima dari e-mail pagi ini. Ngga tahu kenapa cukup menarik perhatian ku. Mungkin otakku ditakdirkan untuk memiliki magnet tersendiri dalam hal kriminalitas.. hee..hee...

Yap... setelah membaca tulisan diatas, dan definisi panjang mengenai bermacam-macam preman, aku jadi ingin menarik suatu kesimpulan yang sederhana. Ternyata semua orang ingin suatu kenyamanan dan hidup yang aman, walaupun harus meraihnya dengan cara yang tidak lazim.. bahkan sampai menjadi preman. Mengapa aku menyebutnya dengan tidak lazim?.. karena terdapat suatu tindakan kekerasan dibalik kekuasaan yang coba di peroleh nya.

Ada satu yang terlupakan oleh si penulis e-mail tersebut. Preman Sekolah. Ini berdasarkan pengalaman ku waktu disekolah lho.. ada sekelompok anak yang diketuai oleh salah seorang dari mereka yang seolah-olah menjadi penguasa sekolah. Dan bertugas meminta pungutan liar dari anak-anak lain yang mereka anggap lebih lemah, selain itu mereka juga sering memiliki side job sebagai tukang pukul. ironis ya.. padahal mereka ada di lingkungan sekolah yang notabene mengajarkan bagaimana berperilaku dan berfikir.

Selain itu ada juga preman yang bersembunyi dibalik kekuasaan seseorang yang berfungsi melindungi kekuasaan tersebut. Ini juga menyedihkan. Ia seolah menguasai lingkungan luar.. tapi begitu menghadap si tuan.. ia membungkuk-bungkuk tak berdaya.. Tukang jagal yang berlindung dalam ketiak kursi penguasa. haa... haa...

Dan yang lebih membuat perutku mual adalah segerombol orang yang mengaku berlindung dan bertugas menegakkan agama.. tapi kelakuannya ngga beda jauh sama preman. Mereka berkeliling... berteriak-teriak sambil mengacungkan parang, Membakar fasilitas umum, dan menyiksa saudaranya sendiri tanpa belas kasihan. Get a life.. people...!!
posted by dee @ 8:48 AM   0 comments
 
 
  Friday, July 14, 2006  
 
 
Redefinisi Nilai
Oleh: Widyarfendhi
Praktisi bisnis


Apabila kebijakan promosi yang diambil perusahaan memberikan hasil yang semakin jauh dari harapan yang ingin dicapai, maka saat itu perlu dilakukan redefinisi tatanan nilai yang meliputi komponen yang berada di dalam perusahaan maupun ada di luar perusahaan.

Pada suatu kesempatan saya berbincang dengan rekan, seorang karyawan perusahaan. Pembicaraan semakin menghangat manakala ia menyampaikan pandangannya tentang kebijakan atasannya mengenai bentuk promosi yang tepat bagi produk perusahaannya. Rekan saya ini menilai, kebijakan atasannya keliru dalam memberikan hadiah berupa barang tertentu dengan kualitas rendah tanpa dapat ditawar. Ia berpendapat, kebijakan promosi yang tepat adalah dengan pemberian diskon, cash back, atau subsidi. Ini cukup beralasan, karena kondisi perekonomian sedang menurun akibat ditutupnya beberapa perusahaan besar yang sebelumnya merupakan faktor dominan penggerak roda perekonomian setempat.

Apabila kita mengamati lebih dalam, apakah program promosi yang telah dilakukan oleh perusahaan sudah benar atau tidak, harus dianalisis menggunakan parameter yang tepat. Analisis itu kemudian mengarahkan pada pemilihan manakah yang lebih efektif antara pemberian hadiah barang atau pemberian diskon. Ataukah perusahaan harus tetap kebijakan promosi yang lain.

Kebingungan ini akan segera terpecahkan bila kita memahaminya sebagai suatu nilai yang dipegang konsumen. Kita harus memahami, setiap konsumen memiliki nilai yang sama terhadap suatu objek, yang dalam hal ini adalah produk. Komposisi variabel pembentuk nilai ini yang bervariasi, tergantung preferensi konsumen. Hasil dari variasi variable pembentuk nilai ini yang kemudian memberikan penjelasan, mengapa terjadi persepsi yang berbeda antara orang satu dan lainnya tentang mahal, murah, serta baik atau kurang baiknya suatu produk.

Banyak variabel yang dapat membentuk tatanan nilai. Berbicara mengenai produk, variabel pembentuk tatanan nilai ini dapat terbentuk oleh variabel kualitas, harga, kemudahan memperoleh, promosi, informasi, pelayanan purna jual, ketersediaan suku cadang, posisi persaingan terhadap produk relatif terhadap produk pesaing, serta berbagai variabel lainnya yang kemudian dibalut dengan pelayanan yang baik. Perusahaan harus jeli mengidentifikasi variabel apa saja yang paling dominan mempengaruhi tatanan nilai dari segmen pasarnya, untuk kemudian menetapkan strategi pemasaran yang tepat.

Pada kasus perusahaan tempat rekan saya bekerja, kesalahan mungkin terjadi pada bagaimana memetakan tatanan nilai yang dipegang segmen pasar perusahaan. Mengampanyekan kualitas terbaik serta penetapan harga tinggi dengan menganggap produk perusahaan bukan produk murahan tanpa melakukan menganalisis secara relatif terhadap produk pesaing, memang kedengarannya menggelikan. Konsumen sudah banyak belajar dari pengalaman dan derasnya arus informasi membuat mereka semakin kritis dan mampu memilih, produk mana yang dapat memenuhi keinginan dan kebutuhannya melalui tatanan nilai yang dipegangnya.

Segencar apa pun promosi yang dilakukan untuk mendukung penjualan produk tanpa didukung diferensiasi produk yang menawarkan nilai yang dibutuhkan dan diinginkan konsumen, akan sia-sia. Promosi sebaiknya diarahkan pada keunggulan produk yang berbeda dibandingkan dengan produk pesaing. Mempromosikan terus menerus suatu bidang yang sudah diketahui masyarakat, hanya akan menghasilkan pandangan negatif mereka bahwa memang produk perusahaan tidak memiliki nilai kompetitif.

Pelajaran yang dapat dipetik dari sini adalah pertama, perusahaan harus mendefinisikan kembali tatanan nilai yang dipegang segmen pasarnya. Seiring kemudahan mengakses informasi dan konsumen semakin kritis, tentunya pergeseran tatanan nilai tidak mungkin terelakkan. Meredefinisi tatanan nilai yang dipegang konsumen khususnya segmen pasar produk perusahaan, atau bahkan menciptakan permintaan produk yang menawarkan nilai lebih tinggi yang mungkin sebelumnya belum terpikirkan konsumen.

Kedua, identifikasi diferensiasi produk perusahaan yang dapat menawarkan keunggulan kompetitif yang tepat sasaran sesuai kecenderungan tatanan nilai yang dipegang segmen pasar tujuan. Melalui proses ini, perusahaan dapat memperoleh gambaran yang jelas mengenai bagaimana bentuk promosi yang tepat dan dapat diterapkan perusahaan.

Ketiga, tetapkan kebijakan promosi yang paling tepat. Kebijakan ini tentunya harus melalui mekanisme yang benar dan berbagai pertimbangan seperti biaya dan sumberdaya pendukung lainnya. Dalam arti, semua pihak terkait baik langsung maupun tidak harus terlibat dan bekerja sama dalam upaya menyukseskan program promosi tersebut.

Keempat, umpan balik. Proses ini perlu untuk menguji apakah kebijakan promosi yang dijalankan perusahaan sudah tepat. Selain itu, untuk mengantisipasi pergeseran tatanan nilai yang dipegang segmen sasaran. Melalui proses analisis mendalam, dapat dilihat apakah kebijakan promosi yang dilakukan masih sesuai ataukah harus diubah. Apabila ternyata harus diganti, proses penentuan kebijakannya sebaiknya melalui tiga tahapan yang disebutkan sebelumnya.

Berbagai kebijakan mengenai produk perusahaannya seperti penetapan harga, peluncuran produk baru dan pelayanan bagi konsumen juga akan lebih baik apabila melalui prosedur seperti ini. Diawali dengan mengidentifikasi kebutuhan dan keinginan konsumen, perusahaan menciptakan produk baru menetapkan harganya dan dibalut dengan pelayanan yang sesuai tatanan nilai yang dipegang konsumen.
posted by dee @ 9:21 AM   0 comments
 
 
   
 
 
Kisah Para Pemimpin Besar
Kisah Para Pemimpin Besar
Oleh: Riswandha Imawan*


Akhir-akhir ini bangsa Indonesia didera musibah. Di tengah musibah itu, ungkapan retorik dengan perilaku teatrikal para pemimpin mencuat. Slogan "Indonesia bangkit" sampai ke "Halangan yang ada hanya membuat kita makin kuat" diteriakkan.

Nicholls dalam bukunya Power: A Political History of the Twentieth Century (1990) mengungkapkan adalah lumrah bila satu bangsa dalam situasi anomali (seperti kita alami saat ini), ada orang yang berusaha menjadi pemimpin besar. Pemimpin besar dilahirkan oleh dinamika sosial-politik masyarakatnya. Karena itu, secara fisik dan psikis dia menyatu dengan denyut nadi kehidupan bangsanya.

Banyak orang yang ingin menjadi pemimpin besar. Tapi, sedikit sekali yang berhasil. Kuncinya ada pada kemampuannya untuk secara total lebur ke dalam dinamika masyarakatnya. Totalitas ini menuntunnya merumuskan secara tepat apa yang dibutuhkan bangsanya. Itu pun harus diwujudkan ke dalam satunya kata dengan perbuatan.

Mahatma Gandhi menjadi pemimpin besar India walau dia tidak pernah menduduki jabatan apa pun di jajaran pemerintahan. Dia merumuskan nilai-nilai kemasyarakatan bangsa India sambil menyelaraskan penampilan dengan filosofi ajaran-ajaran itu. Pakaiannya hanya dua helai kain, kakinya bersandal jepit. Demikian pula Ho Chi Minh untuk Vietnam yang bersepatu sandal dari ban bekas. Bila pergi keluar negeri, dia naik pesawat komersial kelas ekonomi.

Hitler sadar Jerman membutuhkan kebanggaan setelah martabatnya direndahkan bangsa Romawi. Keluarlah doktrin totalitasnya: "disiplin, pantang menyerah, dan berani berkorban" yang menjadi kunci sukses bangsa Jerman.
Churchill menggelorakan sikap optimistis bagi bangsa Inggris. Tantangan adalah kesempatan, bukan hambatan. Nasib Inggris ada di tangan orang Inggris. Dia tunjukkan komitmennya dengan tidak menggunakan barang-barang buatan luar negeri. Semuanya harus made in England.
Napoleon Bonaparte menjadi pemimpin besar bangsa Prancis. Bukan hanya karena idenya tentang prinsip demokrasi. Dia pimpin langsung pasukan ketika menyerang bangsa-bangsa Eropa lain. Lewat penaklukan itu dia menebarkan ajaran-ajarannya. Layak bila dia sesumbar: "Hai prajuritku, empat abad ke depan sedang menatap apa yang sedang kalian lakukan."

Indonesia juga melahirkan banyak pemimpin besar. Bung Karno hadir dengan ajaran populis, kekeluargaan, karena itulah kenyataan hidup bangsanya. Dia kenakan peci hitam yang banyak digunakan orang Indonesia. Di atas meja makannya ada lukisan pengemis, agar dia ingat pada rakyat saat menyantap sayur lodeh, tahu, dan tempe kesukaannya.

Saat Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Haji Agus Salim memakai sarung, peci hitam, dan merokok kretek. Saat diprotes karena bau menyengat dari rokoknya, dia berujar, "Tuan-Tuan, benda inilah yang membuat Tuan-Tuan datang dan menjajah negeri kami."
Bung Hatta hadir dengan kesederhanaan tak tertandingi. Saat gajinya sebagai Wapres akan dinaikkan, dia menolak. Katanya, "Keuangan negara tidak cukup kuat, sementara banyak rakyat melarat yang memerlukan uang itu."

Saat ini, kita dibuat miris bila membaca kisah para pemimpin besar itu. Nilai kebersamaan, kejujuran, dan kesederhanaan yang mematangkan mereka sebagai pemimpin besar, seolah sirna. Padahal, situasi yang berkembang saat ini sangat memungkinkan lahirnya pemimpin besar itu.
Para pemimpin saat ini justru menganut nilai kebalikannya. Melebarkan jarak kaya-miskin, penuh tipu daya, dan hidup dibalut kemewahan ditonjolkan. Mereka seolah hidup di alam berbeda dari rakyat yang dipimpinnya. Alhasil mereka hanya mampu jadi pemimpi, bukan pemimpin.
Bermimpi tentang kebersamaan, namun menebalkan garis pembatas "siapa kamu, siapa saya" (ingroup feeling). Menyeleksi siapa yang layak berbicara atau didengar pendapatnya, hanya meninabobokan pemimpin pada realita rakyatnya. Mereka lupa bahwa politik menyoal kekuasaan, dan kekuasaan hanya mendatangkan pemujaan. Lupa bahwa dalam politik menghargai lawan sama pentingnya dengan menghargai kawan.

Jarak kaya-miskin dilebarkan kembali melalui kebijakan monopoli ala rezim Soeharto. Ironisnya, itu diramu dengan janji yang membuat rakyat ikut bermimpi. Janji bantuan untuk korban bencana alam di Yogyakarta, Rp 30 juta untuk rumah rusak berat dan Rp10 juta rusak ringan, tidak terealisasi. Jangankan jumlah jutaan rupiah, yang jumlahnya ribuan rupiah -uang jatah hidup- saja realisasinya tidak becus.
Perilaku pemimpin saat ini seolah kemakmuran negeri kita setara negara-negara maju. Simak saja, solusi bencana alam di negeri ini selalu dalam bentuk uang. Untuk rehabilitasi Yogyakarta saja dibutuhkan dana Rp17 triliun. Belum lagi bencana lumpur panas di Sidoarjo, banjir di Kalimantan dan Sulawesi, gempa bumi di Maluku dan Papua. Jujur, bila dijumlah, pasti negara kita sudah bangkrut.

Herannya, dengan utang makin menggunung, akhir Mei 2006 tim DSKU Dephub berangkat ke USA, kabarnya, untuk membeli pesawat kepresidenan. Ini isu lama yang pada Oktober 2005 dibantah para juru bicara presiden. Perilaku tipu daya muncul di sini. Akhir Juni 2006, saat terbang ke Medan, kaca kokpit pesawat yang ditumpangi Wapres retak. Awal Juli, saat utusan pejabat DSKU itu sudah kembali, Wapres menyatakan insiden terbang ke Medan tersebut membuat pemerintah memutuskan membeli pesawat baru.

Lho. Tim berangkat Mei 2006, keputusan diambil Juli 2006? Polanya sama dengan pola represi rezim Soeharto, gebuk dulu alasan belakangan. Kebijakan populis, gaji ke-13 dilakukan untuk menutupinya. PNS golongan bawah sangat bersyukur karena memang tepat waktu. Masalahnya, gaji pejabat negara yang jaraknya ratusan kali lipat dari golongan bawah juga diberikan. Alasan pembenar ditebar. Ini ada di APBN. Bila tidak dilaksanakan, atau ada yang menolak, artinya melanggar UU. Masya Allah.

Kalau kebijakan ini untuk PNS yang -sebut saja- berpenghasilan di bawah Rp5 juta sebulan, masuk akal. Tapi, untuk pejabat negara yang berpenghasilan di atas Rp40 juta, itu tidak masuk akal. Apalagi pejabat negara bukan PNS, dan realitanya mereka dapat dari banyak sumber. Sikap mereka menegaskan bahwa sejatinya mereka tidak memiliki kepedulian dengan nasib rakyat Indonesia. Fakta yang terpampang di depan mata membuat rakyat bermimpi hadirnya pemimpin besar baru. Mungkinkah itu terjadi pada Pemilu 2009? Mungkin. Asal kita tidak salah pilih lagi.


Riswandha Imawan
Guru besar UGM di Yogyakarta
posted by dee @ 9:11 AM   0 comments