Hubungan ku dengan ayah tak pernah berjalan mulus. Semenjak masih di sekolah dasar aku tak pernah merasakan pujian seorang ayah terhadap anaknya. Aku sempat merasa iri pada teman2 ku. Mereka semua tampak sangat akrab dengan ayahnya. Ayah ku cenderung dingin.. Beliau bukan tipe yang mengungkapkan kasih sayang nya secara terbuka. Namun walapun begitu.. Aku tau pasti.. jauh didalam lubuk hatinya, Ayah pasti sangat sayang padaku.
Hal ini terus berlanjut. Bahkan sampai aku menginjak SMU, hubunganku dengan Ayah tak menunjukan adanya peningkatan. Bahkan Aku seringkali membangkang padanya.. tak terbayangkan betapa durhakanya aku pada saat itu. Aku juga sempat dihadiahi kemurkaan ayah.. yang sampai saat ini masih bisa kuingat sorot matanya pada saat itu..
Yang biasanya menjadi penengah diantara kami adalah Ibuku. Dia selalu berkata, bahwa aku mewarisi sifat keras ayah.. Dan bila ayah mau berkaca padaku maka beliau akan menemukan sosoknya sendiri dalam versi lain..
Mungkin Ibuku memang benar.. Karena sampai saat itupun aku tetap bersikeras bahwa semua kemarahanku bersumber dari Ayah. Jika saja Ayah tak pernah membanding-bandingkan aku dengan kakak-kakakku yang lain.. Aku hanya ingin Ayah mengerti bahwa setiap anaknya itu unik.. kami memiliki karakter dan kemampuan masing-masing.. Aku hanya ingin dihargai oleh Ayah.. aku sanggup melakukan apa-pun untuk satu saja pujiannya pada saat itu.
Ke-egoisan dan miscomunication mewarnai waktu ku bersama ayah selama bertahun-tahun. Hingga akhirnya hari itu tiba...
Aku tak tahu apakah harus bersedih atau gembira saat mendapatkan kabar bahwa Ayah sakit. Maksudku benar-benar sakit, karena Ayah menderita suatu penyakit yang kemudian di prediksi dokter sebagai Kanker Prostat. Dan hal ini terjadi setelah aku duduk di tahun kedua kuliahku. Disinilah semuanya berawal..
Kejadiannya berawal dari suatu malam. Saat itu aku sedang mendapat giliran jaga ketika Ayah ku dirawat di Rumah Sakit karena kondisi nya yang sudah tak memungkinkan untuk dirawat di rumah.
Aku memperhatikannya dari samping tempat tidur. Tubuhnya sangat lemah. Kulitnya diwarnai dengan keriput-keriput halus. Wajahnya masih menyisakan ketampanannya diwaktu Beliau muda. Urat nadi tampak menonjol di permukaan kulit sekitar leher dan kepala.. jelas tergambarkan kekerasan wataknya.
Melihat Ayah terbaring tak berdaya diatas tempat tidur.. Entah kenapa membuatku meneteskan air mata.. Sekalipun selama ini hubungan kami tak pernah berjalan mulus, tapi jika untuk kehilangan Beliau pada saat itu.. aku merasa belum sanggup.
Aku adalah orang yang percaya akan keajaiban. Maka, saat Ayahku tersadar dalam kondisi yang seperti itu.. Aku menganggapnya keajaiban. Beliau langsung menoleh kearah ku dan saat itu pula ia berkata dengan suaranya yang parau.. "Di..an.. Jangan kemana-mana yaa.. " Aku tahu.. arti kalimat itu lebih besar dari jumlah katanya sendiri.. Aku pun menganggukan kepala. Beliau memintaku tetap berada di sampingnya.. Beliau menginginkan aku berada didekatnya..
Dan itulah yang akan kulakukan.. Aku tak pernah meninggalkannya.. Rasa kantukku seketika mati, tergantikan kebahagiaan yang membuncah di dalam hati ku.. Aku beranjak mendekat, memeluk Ayahku.. Aku membisikan di telinga Beliau... "Aku sayang Ayah"...
Lagi-lagi aku menyadari bahwa ayahku bukan tipe orang yang bisa mengucapkan kalimat sayang secara terang-terangan. Tapi saat beliau tersenyum dan mengangguk.. Aku tahu.. Beliau paham benar maksud ucapan ku..
Semenjak hari itu, aku melihat sesuatu yang lain pada mata dan senyum Ayah.. Ayah seperti bahagia.. Dan kebahagiaan itu tergambar jelas di mata Beliau saat aku melambai pada nya sambil berjubahkan Toga dan menggenggam sertifikat dengan IP yang terpaut tak terlalu jauh dari temanku yang lulus cum laude.
Aku berhasil, Ayah... Semua karena kasih sayang Ayah.. Terima Kasih..
Aku sayang Ayah..
|